Friday, July 29, 2011

TEOREMA KEHIDUPAN

Terimakasih matahariku
Engkau telah mencetak grafik nafasku
Cahaya dan panasmulah,
Yang menuntunku menapaki setiap langkah
Menjalankan setiap kehendak dan fungsiku dalam kehidupan

Terimakasih alamku,
Kau menciptakan aku dari buah kekayaan misterimu
Misteri yang juga pernah kau tinggalkan saat mengambil jiwa Fermat
Aku dan kau terlahir sebagai pasangan absis dan ordinat
Kau dan aku adalah pasangan Descartes dan Isaac Beekman
Kita saling menyurat, berbagi tapi juga saling menghujat
Kadang kita sekawan, kadang berlawanan, pun kadang berkebalikan
Tapi aku tetaplah elemen dari himpunan keindahanmu

Mungkin aku hanya terlahir sebagai sebuah titik imajiner
Aku terhimpit dalam ekstrimnya peradaban
Aku terasing dalam luasnya koordinat samudera kehidupan
Tersudut oleh derasnya teorema takdir alam
Dan mati dalam semesta mimpi-mimpiku
Serta, terhanyut dalam kumpulan idealisme

Bersama mimpiku, kudendangkan mantera Wingardium Leviosa
Kami terbang menuju titik balik maksimum
Lalu melempar pandangan ke lembah yang tercuram
Lembah tempat penderitaan yang tak terhingga
Tempat kawula bertanya, “Dimana rasa bahagia?”

Namun,mimpi berbisik lembut dalam logikaku
“Suarakanlah kebenaran secara kontinyu!”
“Walaupun hanya dengan suara syahdu di hatimu!”
“Meski hanya dengan sederet kata-kata di bukumu!”
“Sebarkanlah kesejukan embun pagi ke seluruh negeri!”
“Karena kedamaian sedang dilanda kegelisahan”.

Monday, October 25, 2010

Hujan Di Sore Hari


Masih terasa nikmat kopi yang membasahi tenggorokanku. Kopi membawakanku kehangatan, sedang hujan sore hari menghidangkan hawa dingin yang sejuk. Aku paling suka dengan hujan di sore hari. Ia semacam terapi pendinginan bagi ragaku setelah merasakan hawa panas dunia. Hujan di sore hari adalah ending story yang pas bagi skenario cerita hari ini. Dan seperti hujan-hujan sore sebelumnya, ia menyelimutkan hawa ketenangan dan kedamaian.

Maka, di sinilah aku berada sekarang. Di sebuah sudut di depan rumahku. Dalam acara-acara di televisi yang memperlihatkan rumah-rumah para artis, selebritis atau orang-orang terkenal lainnya, tempatku ini akan disebut favorite corner, sudut favorit. Dan inilah sudut favoritku, terutama jika hujan sedang turun sore hari. Jika aku menyebutnya sudut, maka yang kumaksudkan memang benar-benar sudut. Bukan sebuah ruangan atau bagian dari ruangan. Aku menyudutkan diriku di bagian kiri depan rumahku. Duduk bersandar pada dinding bambu dan memeluk kedua lututku. Telapak kaki kiriku kutumpangkan pada punggung kaki kananku untuk mengurangi hawa dingin.

Dari tempatku duduk sekarang, aku bisa memandang seluruh bagian halaman rumahku. Beberapa langkah di depanku, ada pohon nangka yang sudah berusia belasan tahun. Ia sudah berdiri di situ sejak aku masih SMP. Satu buahnya menggantung rendah hampir menyentuh tanah. Rumput yang hijau menutupi hampir setengah halaman rumahku. Hujan sore ini, menyegarkan wajah mereka. Pohon mangga tegak berdiri, cabang-cabangnya yang rindang menaungi tanaman-tanaman yang ada di bawahnya. Pohon kaktus yang terbiasa hidup hanya dengan meminum air embun, mendapat kelimpahan air hingga batangnya tegak menjulang. Aneka macam bunga berdiri berdesak-desakan disamping pagar bambu. Berdesakan seperti aneka macam hal dalam pikiranku.

Seringkali aku ditemani pulpen dan selembar kertas. Apa saja yang bisa kutulis, kutuliskan sampai adzan maghrib menghentikan tarian pulpenku. Ide mengalir ringan dengan adanya hujan di sore hari. Dari pulpen dan selembar kertas itu, bisa lahir cerpen, puisi, artikel atau sekedar catatan-catatan ringan tentang kehidupan seperti yang kutulis saat ini.

Orang bebas saja mengasosiasikan hujan di sore hari dengan hal-hal yang lain. Bahkan banyak yang mengasosiasikannya dengan kesedihan. Mereka sering mengasosiasikan hujan dengan air mata dan sore hari (senja) adalah perlambang ujung usia. Jadi hujan di sore hari adalah kesedihan perlambang kesedihan yang di alami di ujung usia. Kemalangan apa yang lebih malang daripada mengalami kesedihan di saat usia sudah mendekati penghujung.

Tapi tidak bagiku, hujan di sore hari adalah keindahan dan kedamaian, sumber inspirasi. Ia melengkapi nikmat kopi hangatku. Ia pendingin bagi hawa panas tubuhku. Terlebih lagi, ia penyegar bagi tamanku agar aku dapat melihatnya tetap hijau di sepanjang sore-sore yang akan kulalui.

Oktober 2010

Friday, May 21, 2010

THE CD BOY

Seorang anak laki-laki berjalan menuju sebuah toko, ia hendak membeli sebuah CD. Baru saja ia membuka pintu toko CD itu, ia sudah dikejutkan sebuah pemandangan mempesonakan yang ada di seberang sana. Di ujung sana, di belakang sebuah meja, seorang gadis cantik tersenyum padanya. Gadis itu tersenyum dengan senyuman yang paling manis. Anak laki-laki itu merasa, itu adalah senyum termanis yang pernah dilihatnya. Jika saja bisa, ingin rasanya ia mencium gadis itu sekarang juga. Tapi tentu saja itu mustahil.

Anak laki-laki itu berjalan menghampiri sang gadis dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia tidak sanggup menatap mata gadis itu secara langsung.
“Apa yang bisa kubantu?”, tanya gadis itu masih dengan senyum manisnya. Jarak keduanya yang sekarang berdekatan, membuat dada anak laki-laki itu semakin berdebar-debar.
“Aku mau membeli CD”, jawab anak laki-laki itu dengan suara yang tertahan di di tenggorokan. Dengan sigap, gadis itu segera mengambil sebuah CD.
“Apakah kau mau CD-nya dibungkus?”, tanya gadis itu lagi.
“Ya”, jawab anak laki-laki itu singkat.

Gadis itu berjalan menuju bagian belakang toko. Beberapa saat kemudian gadis itu sudah kembali dengan CD dalam keadaan telah terbungkus. Anak laki-laki itu menerima CD-nya dan segera meninggalkan toko itu.

Rupanya anak laki-laki itu sudah benar-benar terpesona dengan senyuman gadis itu. Keesokan harinya, ia kembali ke toko itu. Tentu saja, ia sebenarnya tidak membutuhkan CD itu. Ia hanya ingin melihat senyum manis gadis itu. Ya itu saja.

Maka, hari-hari berikutnya berjalan dengan prosedur yang sama. Anak laki-laki itu masuk toko dan gadis itu memberikan senyum termanisnya. Lalu gadis itu mengambil sebuah CD dan pergi ke bagian belakang toko untuk membungkusnya. Anak laki-laki itu pergi setelah menerima CD-nya. Begitulah skenarionya setiap hari.

Sebenarnya anak laki-laki itu ingin sekali berkenalan dengan gadis itu, dan kalau mungkin mengajaknya pergi keluar. Keluar kemana saja untuk bisa menghabiskan waktu bersamanya. Tapi ia terlalu malu. Ia tidak punya keberanian untuk melakukannya. Rupanya sang ibu dari anak laki-laki ini, menyadari apa yang telah terjadi pada anaknya. Ia menyarankan agar anaknya tidak perlu merasa takut. Ajak saja ia berkenalan. Kan hanya berkenalan, wajar saja. Dan selanjutnya mengalir saja.

Akhirnya keesokan harinya, anak laki-laki itu mengumpulkan segenap keberaniannya dan kembali lagi ke toko CD itu. Ketika gadis itu memberikan CD kepadanya, yang seperti biasa dalam keadaan terbungkus, anak laki-laki itu meninggalkan nomor teleponnya di meja gadis itu. Setelah itu, secepat kilat ia berlari keluar dari toko itu.

Beberapa hari kemudian, telepon di rumah anak laki-laki itu berdering, dan sang ibu yang mengangkat. Ternyata yang menelpon adalah gadis di toko CD itu. Kepada sang ibu, gadis itu menanyakan keberadaan anak laki-laki itu. Tapi anehnya, sang ibu langsung menangis.

Tidakkah kau sudah tahu, kalau anak ibu sudah meninggal?”. Gadis itu serasa tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Bagaimana mungkin bisa terjadi seperti ini. Selanjutnya jalur telepon sunyi, yang terdengar hanyalah desah tangis sang ibu. Gadis itu tidak berani bertanya lebih jauh lagi.

Suatu hari, sang ibu ingin mengenang anak laki-lakinya itu. Maka masuklah ia ke dalam kamar anaknya. Ia membuka lemari baju anaknya. Tapi begitu lemari itu dibuka, ia berhadapan dengan bertumpuk-tumpuk CD. Seolah semua ruang dalam lemari itu dipenuhi CD. Dan semua CD itu, masih dalam keadaan terbungkus. Sang ibu mengambil 1 CD, lalu duduk di kasur sambil membukanya. Ketika pembungkus CD itu dibuka, jatuhlah ke lantai selembar kertas dari dalamnya. Ibu mengambilnya dan membaca tulisan yang ada di kertas itu.
“Hai, aku lihat kau adalah cowok yang baik dan manis. Maukah kau pergi keluar bersamaku?”. Salam, Jacelyn.
Ibu mengambil 1 CD yang lain, dan ketika pembungkusnya dibuka, juga ada selembar kertas bertuliskan:
“Hai, aku lihat kau adalah cowok yang baik dan manis. Maukah kau pergi keluar bersamaku?”. Salam, Jacelyn.
Ibu mengambil 1 CD yang lain lagi, dan di dalamnya pun ada selembar kertas dengan tulisan yang sama. Begitu terus, terus dan seterusnya.

Cerita ini aku ambil, terjemahkan dan tulis ulang dari buku Interlanguage, Pusat Perbukuan Nasional.

Monday, February 1, 2010

SOPO SENG PALING NEKAT??

Klub Perboyo arep maen nang Bandung, nang kandange klub Persiban. Dadi ceritane ngunu klub Perboyo arep tanding “away” nang Bandung. Kanggo ndukung klub kesayangane, suporter-suportere Perboyo seng jenenge Bonnex podo ngumpul nang stasiun Semut. Sebagian yo onok seng nglumpuk nang Gubeng. Pokoke jumlahe uakeh, ewon. Kabeh anggotane Bonnex podo nggawe kaos warnae ijo murup. Nah, diantarane Bonnex-Bonnex seng lagi ngenteni sepur iku, ono Bonnex loro seng lagi asyik ngobrol. Jenenge Cak1 ambek Cak2. Cak1 ambek Cak2 ngobrol, sombong-sombongan, sopo sak temene seng paling nekat antarane arek loro iku.

Cak1 : Aku pas budal nang Tangerang disek iko, aku lungguh nang ndukure ndase
sepur, ijen. Arek-arek gak onok seng wani, aku ijen. (Cak1 metu sombonge).

Cak2 : Koen Cak1, ngunu thok ae sombong. Koen gak ngerti a, aku nang njero
ndase sepur. Aku seng nyetir sepur iku, masio talah aku nyetire ngawur. (Cack2 emoh kalah).

Cak1 : Temen a Cak2, lha masinise kok apakno?.

Cak2 : Yo gak tak apak-apakno Cak1, wongw tak kongkon mitei aku.

Cak1 : Ebak koen Cak1. Tapi seng pas muleh teko Semarang iko, aku lho dijaluki
tiket. Langsung ae wonge tak pisuhi, tak jak gelut ambek aku. Wonge yo njegidhek thok ae.

Cak2 : Aku ngunu tambah nemen. Lha wong aku dijaluki tiket, langsung ae wonge
tak jrungkakno teko sepur. Ketang ae rotoh nang kali, dadine yo slamet. Coba’ rotoh nang gragal-gragal, emboh wes dadi opo wong iku.

Cak1 : Tau yoan, ono wong dodol asongan. Tak jaluk kabeh rokoke, tak purak karo
arek-arek.

Cak2 : Koen agk mesisan koyok aku. Rokok seng disedot wonge tak jaluk pisan. Tibae rokoke kretek, rasane gak enak pisan. Tak icak-icak ngantek elek. Mari tak icak-icak, sandal jepitku pedhot Cak1. gak ngurus wes, sandale wonge tak jaluk pisan. Babahno masio kegedhen, seng penting sandalan timbang nyeker. Mari rokokan, goro’anku ngelak. Yo wes, ono wong dodol banyu mineral tak purak pisan ambek arek-arek.
Cak1 tenger-tenger ngrungokno ceritane Cak2.

Cak1 : Tapi seng paling nekat yo aku. Pas maen nang Jakarta, aku lak gak iso
melbu stadion a. Maringunu aku golek tunutan nang Monas, tak penek Monas iku Cak2. Iso a koen koyok ngunu?. Dadi aku ndukung arek-arek teko pucukwe Monas. Aku sempat dikongkon mudun karo wong-wong, dikiro wong sempel arewp bunuh diri.

Cak2 : Ketok ta nontok bal-balan teko pucuke Monas?.

Cak1 : Yo opo carane Cak2. aku nyolong teropong. Aku lak gak kelangan akal a.

Cak2 : Hebat koen Cak1. Tapi koen gak eroh kenekatanku. Pas maen nang Tambaksari, aku yo ngunu gak iso melbu, wes dibe’I arek-arek stadione. Seumpomo menek, nduwur yo wes bek arek-arek. Akhire aku nggolek tunutan trek nang Juanda.

Cak1 : Lapo koen nang Juanda Cak2?. (Cak1 penasaran).

Cak2 : Aku nggandol nang buntute montor molok. Pas montor molok’e liwat ndukure Tambaksari, aku ngrotoh Cak1. Dadi yo koyok Arnold Suasanasegar seng nang film Commando iku. Ngerti gak Cak1, aku kesangsang nang ndukure wit. Semaput aku Cak1. Menene ngunu baru aku sadar. Kurang ajar…..Aku paleh gak ero yo opo balbalane.

Saking enake ngomong, Cak1 karo Cak2 gak eroh nek sepure wes teko, arek-arek wes podo numpak. Cak1 karo Cak2 mluayu buanter tapi gak nututi. Malah Cak1 kesandung watu, tibo sampek irunge mimisen.

Cak 2 : Yo opo Cak1, sido budal ta gak iki?.

Cak1 : Yo tetep budal Cak2, wis nanggung iki. Gak ero tah irungku mimisen iki?.

Cak2 : Terus numpak opo Cak1?.

Cak1 : Wes nekat, mlaku ae yo opo?.

Cak2 : Yo gak opo-opo, ayo. Tapi koen ngerti dalane a?.

Cak1 : Ngunu ae athek dipikir. Teko ngetotno rel iki ngara gak tutuk nggone a. seng pinter ta dadi Bonnex.

Cak2 : Yo wes ayo.

Akhire arek loro iku seglang-segleng mlaku bareng. Dadi sopo seng paling nekat?, yo emboh pikiren dhewe.

Monday, December 7, 2009

KEKERASAN BERBALUT INTELEKTUALITAS


Peristiwa saling membunuh antara Habil dan Qobil, boleh jadi merupakan bentuk pembunuhan – sebagai ikon kekerasan- yang pertama terjadi di muka bumi ini. Dan seiring semakin menumpukya jumlah manusia yang menghuni muka bumi ini, semakin banyak pula lahir Habil dan Qobil yang lain. Ia bisa berwujud preman yang sangar, eksekutif berdasi yang parlente bahkan anak kecil yang masih lugu. Siapapun bisa berpotensi menjadi pelaku kekerasan, baik secara eksplisit maupun secara implisit.

Kalau bicara masalah tayangan seks dan kekerasan, berarti ini tentang sesuatu yang doitampilkan secara audio visual, yang bisa dilihat dan didengar. Dan yang pasti, media yang sudah sangat familiar di masyarakat adalah televisi. Media entertainment yang bisa dinikmati kapan saja, oleh siapa saja, oleh setiap umur dan kalangan. Bahkan di kalangan anak-anak, selain televisi media yang berpotensi menyajikan seks dan kekerasan adalah video game (playstation). Beberapa game kecil untuk PC juga mengandung unsur seks dan kekerasan.

Secara khusus, Suparto Brata sangat mengkhawatirkan pengaruh televisi pada anak-anak. Ia menyebut televisi sebagai “guru besar” yang beresiko besar terhadap anak-anak (Jawa Pos,17/12/2006). Anak memang paling mudah belajar dan meniru (untuk berbuat kebaikan maupun kekerasan) dari apa yang mereka lihat dan dengar, dari media ataupun yang mereka lihat secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang mereka lihat dan dengar, lebih mudah terekam di otak daripada yang mereka baca. Ini disebabkan, masih menurut Suparto Brata, orang tak perlu belajar untuk menikmati televisi, karena secara kodrati orang bisa melihat dan mendengar. Beda dengan membaca dan menulis yang harus dipelajari dan bukan kodrat.

Lalu sebenarnya apa yang mendasari maraknya tayangan yang mengandung seks dan kekerasan di televisi?. Jawaban yang hampir pasti adalah adalah karena rating. Pengelola televisi tidak mungkin mengurangi apalagi mengeleminir acara-acara yang ratingnya tinggi walaupun mungkin bila ditinjau dari segi kualitas acara, nilainya minus.dan seperti apa yang ditulis Kholilul Rohman Ahmad dalam review buku Matinya Rating Televisi : Ilusi Sebuah Netralitas yang berjudul Maria Eva Dan Politik Bisnis Televisi, orang-orang yang mengkritik acara-acara televisi akan dituduh sebagai orang yang mengkritik mekanisme pasar. Karena rating sudah lazim diasumsikan sebagai representasi selera masyarakat.

Namun kita juga perlu memberi apresiasi atas apa yang sudah dilakukan oleh televisi untuk meminimalisir dampak dari tayangan seks dan kekerasan. Mereka melabeli tayangan-tayangan mereka agar tercipta segmentasi penonton. Ada label A (Anak-anak), D (Dewasa), SU (Semua Umur), BO (Bimbingan Orang Tua) bahkan label “17+”. Label terakhir ini bisa dipahami dalam 2 makna, pertama tayangan itu mempunyai content-content yang menjurus ke arah seksualitas atau mempunyai content kekerasan. Termasuk juga dalam hal pengaturan jam tayang. Tapi seperti tayangan smackdown sebelumnya yang sudah terlanjur digandrungi anak-anak, jam berapapun ditayangkan mereka rela menahan kantuk supaya bisa menonton.

Dengan demikian kita tidak perlu selalu menempatkan televisi atau media lainnya sebagai pihak yang bersalah. Lepas dari efek-efek negatif yang ditimbulkannya, televisi punya efek-efek positif yang yang perlu diperhitungkan, terutama terkait pemberitaan. Televisi hanya media, yang seperti produk teknologi lainnya, diciptakan dengan tujuan awal untuk memudahkan kehidupan manusia. Hanya kemudian, tergantung kepada kita pemanfaatannya lebih ke arah mana.
Seperti diungkapkan sebelumnya, kekerasan bisa berpotensi dilakukan oleh siapa saja. Dan kekerasan pun bisa terjadi dalam lingkungan apapun, dari mulai lingkungan militer (yang sudah identik dengan kekerasan untuk disiplin) sampai lingkungan keluarga dan pendidikan.

Pemberian PR yang menumpuk pada pelajar SD, juga adalah suatu bentuk kekerasan (kalau boleh dikatakan demikian). Pemberian PR yang menumpuk menyita sebagian besar waktu mereka yang seharusnya bisa digunakan untuk bermain, berinteraksi sosial dengan teman dan keluarga serta melakukan kegiatan lain selain belajar. Menurut Afie Kohn, penulis The Homework Myth, PR tidak hanya mengikis kecintaan anak-anak untuk belajar tapi juga punya dampak psikologis yang merugikan. Apalagi dari hasil penelitian Duke Univercity, didapati bahwa tidak ada korelasi antara PR dan kemajuan akademis pelajar. Korelasi hanya ditemukan pada pelajar SMP dan SMU, tidak pada pelajar SD. Lalu jika pada beberapa TK muridnya sudah diajarkan membaca dan berhitung, bisakah disebut kekerasan?.

Disamping pendidik, orang tua pun bisa melakukan kekerasan dalam konteks pendidikan. Orang tua seringkali mengatasnamakan masa depan anak, dengan memaksa anak mereka untuk ikut berbagai tambahan pelajaran (les) yang melelahkan fisik dan psikologis. Sepulang sekolah, anak harus ikut les matematika, les Bahasa Inggris, les komputer, renang, piano dan sebagainya. Seolah-olah setiap hari adalah full day school. Kalau sudah begini, jangan salahkan bila anak cenderung menjadi pribadi yang introvert, kurang bisa berinteraksi sosial, bagus dalam hardskill tapi kurang bagus dalam softskill karena mengalami social phobia (meminjam istilahnya Nalini M. Agung).

Wednesday, March 18, 2009

Lubang Di Hati

Hati, adalah segumpal daging dalam tubuh manusia tempat berkumpulnya segala macam rasa. Namun kadangkala, dalam menjalani hidup yang serba kompleks ini,kita merasakan ada sesuatu yang hilang dalam diri kita, hati kita merasakan sebuah kehilangan tapi tidak pernah tahu apa yang hilang itu. Rasa kehilangan atas sesuatu yang membuat kita merasa tidak lengkap,tidak utuh. Kita berusaha mereka-reka, menebak-nebak, apakah sesungguhnya yang telah hilang?. Satu waktu, kita menyangka, oh ternyata inilah yang selama ini hilang dan membuat aku merasa tidak lengkap. Tapi ternyata, kita masih merasa kehilangan. Hidup pun berjalan kembali. Seolah-seolah menemukan sebuah jawaban, kita kembali berpikir,"Ah mungkin inilah yang membuat aku merasa kehilangan selama ini". Tapi ternyata kembali kita keliru dalam mengambil kesimpulan. Kebimbanganpun melanda hati kita. Kita berada dalam suatu persimpangan diantara berbagai alternatif jawaban atas kehilangan yang kita alami. Kita begitu bimbang sehingga kita berhenti melangkah, tidak mengambil langkah apapun dari berbagai alternatif jawaban itu, karena kita bingung manakah yang benar dari berbagai alternatif jawaban itu. Kita mengalami stuck,jalan buntu.


Tapi itu tidak berlangsung lama. Alam sadar segera mengingatkan kita. Bahwa yang Kuasa tidak ingin kita berhenti, putus asa, dalam menghadapi persoalan hidup. Dia tidak menginginkan kita berhenti melangkah mencari jawaban atas kegelisahan yang melanda hati. Kita harus tetap berjalan mencari jawaban yang ssungguhnya. Yakinlah,selama apapun waktu yang kita perlukan, sekeras apapun usaha yang kita lakukan,sesulit apapun jalan yang kita lalui, itu semua tidak akan sia-sia. Jawaban itu pasti akan datang pada waktunya. Dia sedang menunggu kita untuk datang menemuinya. Dan ketika kita menemukan jawabannya, dia akan menunjukkan pada kita tentang manisnya buah dari sebuah perjuangan untuk mencarai jawaban.



Diinterpretasikan dari lagu Letto "Lubang Di Hati."
Oleh Dee@n.

Wednesday, February 25, 2009

Untuk Palestina

TRAGEDI PADA SUATU NEGERI

Nafsumu,
adalah iblis-iblis kejam
yang membunuh kebahagiaan masa kecil kami
Hasratmu,
adalah setan-setan licik
yang merampas ketentraman kami
Dan segala keburukan perangaimu
menghancur leburkan rumah dan tanah kami

Aku lari, menangis dan takut
Sembunyi di balik ketiak ibuku
Aku takut mendengar gemelegar bom mu
Ibuku berlari terpontang-panting
Aku semakin takut
Tangisku semakin keras

Kerahkanlah tank-tank mu!
Muntahkan berjuta-juta pelurumu!
Lontarkan bom mu!

Hancurkan rumahku!
Ledakkan sekolah-sekolah kami!
Luluh lantakkan masjid-masjid kami!
Bahkan, bunuhlah semua keluarga kami!
Serta pedihkan pandangan kami akan perdamaian.

Tapi,
Semua penderitaan yang kau selimutkan ke tubuhku
Takkan mampu memadamkan semangatku
Aku akan tetap di sini
Dan kau memandangku masih berdiri di sini
Biar langit menyaksikan aku bercerita kepada dunia
Bahwa aku tersiksa di tengah-tengah kaum yang teraniaya

Ku berteriak sampai aus suaraku
Tangisku pun sudah tidak berair mata
Namun, sayang sekali
Bumi sudah berpura-pura tidak bertelinga
Dan langit pun masih diam menghitung waktu

Sungguh amat kejam ideologi-ideologi itu
Teramat biadab isme-isme itu
Dan perang-perang itu
Sama sekali tidak berperasaan.