Monday, October 25, 2010

Hujan Di Sore Hari


Masih terasa nikmat kopi yang membasahi tenggorokanku. Kopi membawakanku kehangatan, sedang hujan sore hari menghidangkan hawa dingin yang sejuk. Aku paling suka dengan hujan di sore hari. Ia semacam terapi pendinginan bagi ragaku setelah merasakan hawa panas dunia. Hujan di sore hari adalah ending story yang pas bagi skenario cerita hari ini. Dan seperti hujan-hujan sore sebelumnya, ia menyelimutkan hawa ketenangan dan kedamaian.

Maka, di sinilah aku berada sekarang. Di sebuah sudut di depan rumahku. Dalam acara-acara di televisi yang memperlihatkan rumah-rumah para artis, selebritis atau orang-orang terkenal lainnya, tempatku ini akan disebut favorite corner, sudut favorit. Dan inilah sudut favoritku, terutama jika hujan sedang turun sore hari. Jika aku menyebutnya sudut, maka yang kumaksudkan memang benar-benar sudut. Bukan sebuah ruangan atau bagian dari ruangan. Aku menyudutkan diriku di bagian kiri depan rumahku. Duduk bersandar pada dinding bambu dan memeluk kedua lututku. Telapak kaki kiriku kutumpangkan pada punggung kaki kananku untuk mengurangi hawa dingin.

Dari tempatku duduk sekarang, aku bisa memandang seluruh bagian halaman rumahku. Beberapa langkah di depanku, ada pohon nangka yang sudah berusia belasan tahun. Ia sudah berdiri di situ sejak aku masih SMP. Satu buahnya menggantung rendah hampir menyentuh tanah. Rumput yang hijau menutupi hampir setengah halaman rumahku. Hujan sore ini, menyegarkan wajah mereka. Pohon mangga tegak berdiri, cabang-cabangnya yang rindang menaungi tanaman-tanaman yang ada di bawahnya. Pohon kaktus yang terbiasa hidup hanya dengan meminum air embun, mendapat kelimpahan air hingga batangnya tegak menjulang. Aneka macam bunga berdiri berdesak-desakan disamping pagar bambu. Berdesakan seperti aneka macam hal dalam pikiranku.

Seringkali aku ditemani pulpen dan selembar kertas. Apa saja yang bisa kutulis, kutuliskan sampai adzan maghrib menghentikan tarian pulpenku. Ide mengalir ringan dengan adanya hujan di sore hari. Dari pulpen dan selembar kertas itu, bisa lahir cerpen, puisi, artikel atau sekedar catatan-catatan ringan tentang kehidupan seperti yang kutulis saat ini.

Orang bebas saja mengasosiasikan hujan di sore hari dengan hal-hal yang lain. Bahkan banyak yang mengasosiasikannya dengan kesedihan. Mereka sering mengasosiasikan hujan dengan air mata dan sore hari (senja) adalah perlambang ujung usia. Jadi hujan di sore hari adalah kesedihan perlambang kesedihan yang di alami di ujung usia. Kemalangan apa yang lebih malang daripada mengalami kesedihan di saat usia sudah mendekati penghujung.

Tapi tidak bagiku, hujan di sore hari adalah keindahan dan kedamaian, sumber inspirasi. Ia melengkapi nikmat kopi hangatku. Ia pendingin bagi hawa panas tubuhku. Terlebih lagi, ia penyegar bagi tamanku agar aku dapat melihatnya tetap hijau di sepanjang sore-sore yang akan kulalui.

Oktober 2010

Friday, May 21, 2010

THE CD BOY

Seorang anak laki-laki berjalan menuju sebuah toko, ia hendak membeli sebuah CD. Baru saja ia membuka pintu toko CD itu, ia sudah dikejutkan sebuah pemandangan mempesonakan yang ada di seberang sana. Di ujung sana, di belakang sebuah meja, seorang gadis cantik tersenyum padanya. Gadis itu tersenyum dengan senyuman yang paling manis. Anak laki-laki itu merasa, itu adalah senyum termanis yang pernah dilihatnya. Jika saja bisa, ingin rasanya ia mencium gadis itu sekarang juga. Tapi tentu saja itu mustahil.

Anak laki-laki itu berjalan menghampiri sang gadis dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia tidak sanggup menatap mata gadis itu secara langsung.
“Apa yang bisa kubantu?”, tanya gadis itu masih dengan senyum manisnya. Jarak keduanya yang sekarang berdekatan, membuat dada anak laki-laki itu semakin berdebar-debar.
“Aku mau membeli CD”, jawab anak laki-laki itu dengan suara yang tertahan di di tenggorokan. Dengan sigap, gadis itu segera mengambil sebuah CD.
“Apakah kau mau CD-nya dibungkus?”, tanya gadis itu lagi.
“Ya”, jawab anak laki-laki itu singkat.

Gadis itu berjalan menuju bagian belakang toko. Beberapa saat kemudian gadis itu sudah kembali dengan CD dalam keadaan telah terbungkus. Anak laki-laki itu menerima CD-nya dan segera meninggalkan toko itu.

Rupanya anak laki-laki itu sudah benar-benar terpesona dengan senyuman gadis itu. Keesokan harinya, ia kembali ke toko itu. Tentu saja, ia sebenarnya tidak membutuhkan CD itu. Ia hanya ingin melihat senyum manis gadis itu. Ya itu saja.

Maka, hari-hari berikutnya berjalan dengan prosedur yang sama. Anak laki-laki itu masuk toko dan gadis itu memberikan senyum termanisnya. Lalu gadis itu mengambil sebuah CD dan pergi ke bagian belakang toko untuk membungkusnya. Anak laki-laki itu pergi setelah menerima CD-nya. Begitulah skenarionya setiap hari.

Sebenarnya anak laki-laki itu ingin sekali berkenalan dengan gadis itu, dan kalau mungkin mengajaknya pergi keluar. Keluar kemana saja untuk bisa menghabiskan waktu bersamanya. Tapi ia terlalu malu. Ia tidak punya keberanian untuk melakukannya. Rupanya sang ibu dari anak laki-laki ini, menyadari apa yang telah terjadi pada anaknya. Ia menyarankan agar anaknya tidak perlu merasa takut. Ajak saja ia berkenalan. Kan hanya berkenalan, wajar saja. Dan selanjutnya mengalir saja.

Akhirnya keesokan harinya, anak laki-laki itu mengumpulkan segenap keberaniannya dan kembali lagi ke toko CD itu. Ketika gadis itu memberikan CD kepadanya, yang seperti biasa dalam keadaan terbungkus, anak laki-laki itu meninggalkan nomor teleponnya di meja gadis itu. Setelah itu, secepat kilat ia berlari keluar dari toko itu.

Beberapa hari kemudian, telepon di rumah anak laki-laki itu berdering, dan sang ibu yang mengangkat. Ternyata yang menelpon adalah gadis di toko CD itu. Kepada sang ibu, gadis itu menanyakan keberadaan anak laki-laki itu. Tapi anehnya, sang ibu langsung menangis.

Tidakkah kau sudah tahu, kalau anak ibu sudah meninggal?”. Gadis itu serasa tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Bagaimana mungkin bisa terjadi seperti ini. Selanjutnya jalur telepon sunyi, yang terdengar hanyalah desah tangis sang ibu. Gadis itu tidak berani bertanya lebih jauh lagi.

Suatu hari, sang ibu ingin mengenang anak laki-lakinya itu. Maka masuklah ia ke dalam kamar anaknya. Ia membuka lemari baju anaknya. Tapi begitu lemari itu dibuka, ia berhadapan dengan bertumpuk-tumpuk CD. Seolah semua ruang dalam lemari itu dipenuhi CD. Dan semua CD itu, masih dalam keadaan terbungkus. Sang ibu mengambil 1 CD, lalu duduk di kasur sambil membukanya. Ketika pembungkus CD itu dibuka, jatuhlah ke lantai selembar kertas dari dalamnya. Ibu mengambilnya dan membaca tulisan yang ada di kertas itu.
“Hai, aku lihat kau adalah cowok yang baik dan manis. Maukah kau pergi keluar bersamaku?”. Salam, Jacelyn.
Ibu mengambil 1 CD yang lain, dan ketika pembungkusnya dibuka, juga ada selembar kertas bertuliskan:
“Hai, aku lihat kau adalah cowok yang baik dan manis. Maukah kau pergi keluar bersamaku?”. Salam, Jacelyn.
Ibu mengambil 1 CD yang lain lagi, dan di dalamnya pun ada selembar kertas dengan tulisan yang sama. Begitu terus, terus dan seterusnya.

Cerita ini aku ambil, terjemahkan dan tulis ulang dari buku Interlanguage, Pusat Perbukuan Nasional.

Monday, February 1, 2010

SOPO SENG PALING NEKAT??

Klub Perboyo arep maen nang Bandung, nang kandange klub Persiban. Dadi ceritane ngunu klub Perboyo arep tanding “away” nang Bandung. Kanggo ndukung klub kesayangane, suporter-suportere Perboyo seng jenenge Bonnex podo ngumpul nang stasiun Semut. Sebagian yo onok seng nglumpuk nang Gubeng. Pokoke jumlahe uakeh, ewon. Kabeh anggotane Bonnex podo nggawe kaos warnae ijo murup. Nah, diantarane Bonnex-Bonnex seng lagi ngenteni sepur iku, ono Bonnex loro seng lagi asyik ngobrol. Jenenge Cak1 ambek Cak2. Cak1 ambek Cak2 ngobrol, sombong-sombongan, sopo sak temene seng paling nekat antarane arek loro iku.

Cak1 : Aku pas budal nang Tangerang disek iko, aku lungguh nang ndukure ndase
sepur, ijen. Arek-arek gak onok seng wani, aku ijen. (Cak1 metu sombonge).

Cak2 : Koen Cak1, ngunu thok ae sombong. Koen gak ngerti a, aku nang njero
ndase sepur. Aku seng nyetir sepur iku, masio talah aku nyetire ngawur. (Cack2 emoh kalah).

Cak1 : Temen a Cak2, lha masinise kok apakno?.

Cak2 : Yo gak tak apak-apakno Cak1, wongw tak kongkon mitei aku.

Cak1 : Ebak koen Cak1. Tapi seng pas muleh teko Semarang iko, aku lho dijaluki
tiket. Langsung ae wonge tak pisuhi, tak jak gelut ambek aku. Wonge yo njegidhek thok ae.

Cak2 : Aku ngunu tambah nemen. Lha wong aku dijaluki tiket, langsung ae wonge
tak jrungkakno teko sepur. Ketang ae rotoh nang kali, dadine yo slamet. Coba’ rotoh nang gragal-gragal, emboh wes dadi opo wong iku.

Cak1 : Tau yoan, ono wong dodol asongan. Tak jaluk kabeh rokoke, tak purak karo
arek-arek.

Cak2 : Koen agk mesisan koyok aku. Rokok seng disedot wonge tak jaluk pisan. Tibae rokoke kretek, rasane gak enak pisan. Tak icak-icak ngantek elek. Mari tak icak-icak, sandal jepitku pedhot Cak1. gak ngurus wes, sandale wonge tak jaluk pisan. Babahno masio kegedhen, seng penting sandalan timbang nyeker. Mari rokokan, goro’anku ngelak. Yo wes, ono wong dodol banyu mineral tak purak pisan ambek arek-arek.
Cak1 tenger-tenger ngrungokno ceritane Cak2.

Cak1 : Tapi seng paling nekat yo aku. Pas maen nang Jakarta, aku lak gak iso
melbu stadion a. Maringunu aku golek tunutan nang Monas, tak penek Monas iku Cak2. Iso a koen koyok ngunu?. Dadi aku ndukung arek-arek teko pucukwe Monas. Aku sempat dikongkon mudun karo wong-wong, dikiro wong sempel arewp bunuh diri.

Cak2 : Ketok ta nontok bal-balan teko pucuke Monas?.

Cak1 : Yo opo carane Cak2. aku nyolong teropong. Aku lak gak kelangan akal a.

Cak2 : Hebat koen Cak1. Tapi koen gak eroh kenekatanku. Pas maen nang Tambaksari, aku yo ngunu gak iso melbu, wes dibe’I arek-arek stadione. Seumpomo menek, nduwur yo wes bek arek-arek. Akhire aku nggolek tunutan trek nang Juanda.

Cak1 : Lapo koen nang Juanda Cak2?. (Cak1 penasaran).

Cak2 : Aku nggandol nang buntute montor molok. Pas montor molok’e liwat ndukure Tambaksari, aku ngrotoh Cak1. Dadi yo koyok Arnold Suasanasegar seng nang film Commando iku. Ngerti gak Cak1, aku kesangsang nang ndukure wit. Semaput aku Cak1. Menene ngunu baru aku sadar. Kurang ajar…..Aku paleh gak ero yo opo balbalane.

Saking enake ngomong, Cak1 karo Cak2 gak eroh nek sepure wes teko, arek-arek wes podo numpak. Cak1 karo Cak2 mluayu buanter tapi gak nututi. Malah Cak1 kesandung watu, tibo sampek irunge mimisen.

Cak 2 : Yo opo Cak1, sido budal ta gak iki?.

Cak1 : Yo tetep budal Cak2, wis nanggung iki. Gak ero tah irungku mimisen iki?.

Cak2 : Terus numpak opo Cak1?.

Cak1 : Wes nekat, mlaku ae yo opo?.

Cak2 : Yo gak opo-opo, ayo. Tapi koen ngerti dalane a?.

Cak1 : Ngunu ae athek dipikir. Teko ngetotno rel iki ngara gak tutuk nggone a. seng pinter ta dadi Bonnex.

Cak2 : Yo wes ayo.

Akhire arek loro iku seglang-segleng mlaku bareng. Dadi sopo seng paling nekat?, yo emboh pikiren dhewe.