Thursday, December 4, 2008

MENANTI SETETES EMBUN

Betapa terkadang engkau merasa terjebak dalam keadaan yang membuatmu selalu ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk mengusir rasa yang menghimpit. Dirimu seakan terjebak di daratan yang luas, sepi, kering, tandus dan panas. Tidak seorang pun yang tahu dan mau tahu, tak seorangpun yang peduli dan tak berpura-pura tuli. Engkau merasa bumi sengaja diciptakan sebagai tempat pengasingan bagi dirimu. Dalam keadaan seperti ini, engkau tak punya daya untuk melakukan apapun, yang bisa kau lakukan hanyalah diam, menanti setetes embun. Embun yang memberikan kesejukan bagi hatimu yang telah kering oleh panasnya dunia, embun yang memberikan penghidupan bagi hatimu yang telah dimatikan oleh ketidakcukupan, embun yang memberikanmu penerangan dan pengharapan, bahwa pagi telah datang.


Adalah sebuah keindahan, jika engkau dapat meraih apa yang benar-benar engkau inginkan. Sesuatu yang engkau merasa nyaman untuk menjalaninya. Tapi apa yang benar-benar kita inginkan, belum tentu juga yang terbaik bagimu. So…,what we have to do?. Just going whre the wind blows. Jalani saja seperti angin berhembus atau air mengalir. Asal jangan sampai airnya bertambah keruh dan kotor karena mengalir menuju ke got.

Jangan pernah mengeluh soal HPmu yang ketinggalan jaman kepada teman yang tidak punya HP. Jangan pernah mengeluh soal motormu yang kehabisan bensin, kepada temanmu yang jauh-jauh ke sekolah naik sepeda. Dan, jangan pernah mengeluh soal soal sepatumu yang buruk kepada orang yang tidak punya kaki (Indy Febirani,”Gerimis”). Intinya, ini adalah soal rasa syukur. Syukurilah hidupmu, syukurilah apa yang kau miliki saat ini. Sebelum rasa memilki itu pergi dan menggantinya dengan rasa kehilangan.

Semua dari kita, sebenarnya memiliki sesuatu yang nilainya melebihi dari apa yang kita inginkan. Hanya saja, seringkali kita tidak menyadarinya. Oleh karena itu renungkanlah, jangan sampai kita tersadar memiliki sesuatu setelah sesuatu itu menghilang

Hidup ini bukan hanya perkara hasil, tapi juga perkara proses. Berjuanglah, langkahkan kakimu, ambil resiko, raih apa yang kau cita-citakan. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah keberhasilan. Semakin besar keberhasilanmu, semakin besar pula harga yang harus kau bayarkan. Jangan sampai suatu saat kau menyesal karena merasa belum berjuang. Penyesalan seperti ini, rasanya lebih nyeri di hati daripada penyesalan yang kau rasakan karena kegagalan meski telah berjuang.

Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya, yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong —ini pendapat Einstein—maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.
-Andrea Hirata, dalam Edensor-