Monday, December 7, 2009

KEKERASAN BERBALUT INTELEKTUALITAS


Peristiwa saling membunuh antara Habil dan Qobil, boleh jadi merupakan bentuk pembunuhan – sebagai ikon kekerasan- yang pertama terjadi di muka bumi ini. Dan seiring semakin menumpukya jumlah manusia yang menghuni muka bumi ini, semakin banyak pula lahir Habil dan Qobil yang lain. Ia bisa berwujud preman yang sangar, eksekutif berdasi yang parlente bahkan anak kecil yang masih lugu. Siapapun bisa berpotensi menjadi pelaku kekerasan, baik secara eksplisit maupun secara implisit.

Kalau bicara masalah tayangan seks dan kekerasan, berarti ini tentang sesuatu yang doitampilkan secara audio visual, yang bisa dilihat dan didengar. Dan yang pasti, media yang sudah sangat familiar di masyarakat adalah televisi. Media entertainment yang bisa dinikmati kapan saja, oleh siapa saja, oleh setiap umur dan kalangan. Bahkan di kalangan anak-anak, selain televisi media yang berpotensi menyajikan seks dan kekerasan adalah video game (playstation). Beberapa game kecil untuk PC juga mengandung unsur seks dan kekerasan.

Secara khusus, Suparto Brata sangat mengkhawatirkan pengaruh televisi pada anak-anak. Ia menyebut televisi sebagai “guru besar” yang beresiko besar terhadap anak-anak (Jawa Pos,17/12/2006). Anak memang paling mudah belajar dan meniru (untuk berbuat kebaikan maupun kekerasan) dari apa yang mereka lihat dan dengar, dari media ataupun yang mereka lihat secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang mereka lihat dan dengar, lebih mudah terekam di otak daripada yang mereka baca. Ini disebabkan, masih menurut Suparto Brata, orang tak perlu belajar untuk menikmati televisi, karena secara kodrati orang bisa melihat dan mendengar. Beda dengan membaca dan menulis yang harus dipelajari dan bukan kodrat.

Lalu sebenarnya apa yang mendasari maraknya tayangan yang mengandung seks dan kekerasan di televisi?. Jawaban yang hampir pasti adalah adalah karena rating. Pengelola televisi tidak mungkin mengurangi apalagi mengeleminir acara-acara yang ratingnya tinggi walaupun mungkin bila ditinjau dari segi kualitas acara, nilainya minus.dan seperti apa yang ditulis Kholilul Rohman Ahmad dalam review buku Matinya Rating Televisi : Ilusi Sebuah Netralitas yang berjudul Maria Eva Dan Politik Bisnis Televisi, orang-orang yang mengkritik acara-acara televisi akan dituduh sebagai orang yang mengkritik mekanisme pasar. Karena rating sudah lazim diasumsikan sebagai representasi selera masyarakat.

Namun kita juga perlu memberi apresiasi atas apa yang sudah dilakukan oleh televisi untuk meminimalisir dampak dari tayangan seks dan kekerasan. Mereka melabeli tayangan-tayangan mereka agar tercipta segmentasi penonton. Ada label A (Anak-anak), D (Dewasa), SU (Semua Umur), BO (Bimbingan Orang Tua) bahkan label “17+”. Label terakhir ini bisa dipahami dalam 2 makna, pertama tayangan itu mempunyai content-content yang menjurus ke arah seksualitas atau mempunyai content kekerasan. Termasuk juga dalam hal pengaturan jam tayang. Tapi seperti tayangan smackdown sebelumnya yang sudah terlanjur digandrungi anak-anak, jam berapapun ditayangkan mereka rela menahan kantuk supaya bisa menonton.

Dengan demikian kita tidak perlu selalu menempatkan televisi atau media lainnya sebagai pihak yang bersalah. Lepas dari efek-efek negatif yang ditimbulkannya, televisi punya efek-efek positif yang yang perlu diperhitungkan, terutama terkait pemberitaan. Televisi hanya media, yang seperti produk teknologi lainnya, diciptakan dengan tujuan awal untuk memudahkan kehidupan manusia. Hanya kemudian, tergantung kepada kita pemanfaatannya lebih ke arah mana.
Seperti diungkapkan sebelumnya, kekerasan bisa berpotensi dilakukan oleh siapa saja. Dan kekerasan pun bisa terjadi dalam lingkungan apapun, dari mulai lingkungan militer (yang sudah identik dengan kekerasan untuk disiplin) sampai lingkungan keluarga dan pendidikan.

Pemberian PR yang menumpuk pada pelajar SD, juga adalah suatu bentuk kekerasan (kalau boleh dikatakan demikian). Pemberian PR yang menumpuk menyita sebagian besar waktu mereka yang seharusnya bisa digunakan untuk bermain, berinteraksi sosial dengan teman dan keluarga serta melakukan kegiatan lain selain belajar. Menurut Afie Kohn, penulis The Homework Myth, PR tidak hanya mengikis kecintaan anak-anak untuk belajar tapi juga punya dampak psikologis yang merugikan. Apalagi dari hasil penelitian Duke Univercity, didapati bahwa tidak ada korelasi antara PR dan kemajuan akademis pelajar. Korelasi hanya ditemukan pada pelajar SMP dan SMU, tidak pada pelajar SD. Lalu jika pada beberapa TK muridnya sudah diajarkan membaca dan berhitung, bisakah disebut kekerasan?.

Disamping pendidik, orang tua pun bisa melakukan kekerasan dalam konteks pendidikan. Orang tua seringkali mengatasnamakan masa depan anak, dengan memaksa anak mereka untuk ikut berbagai tambahan pelajaran (les) yang melelahkan fisik dan psikologis. Sepulang sekolah, anak harus ikut les matematika, les Bahasa Inggris, les komputer, renang, piano dan sebagainya. Seolah-olah setiap hari adalah full day school. Kalau sudah begini, jangan salahkan bila anak cenderung menjadi pribadi yang introvert, kurang bisa berinteraksi sosial, bagus dalam hardskill tapi kurang bagus dalam softskill karena mengalami social phobia (meminjam istilahnya Nalini M. Agung).

Wednesday, March 18, 2009

Lubang Di Hati

Hati, adalah segumpal daging dalam tubuh manusia tempat berkumpulnya segala macam rasa. Namun kadangkala, dalam menjalani hidup yang serba kompleks ini,kita merasakan ada sesuatu yang hilang dalam diri kita, hati kita merasakan sebuah kehilangan tapi tidak pernah tahu apa yang hilang itu. Rasa kehilangan atas sesuatu yang membuat kita merasa tidak lengkap,tidak utuh. Kita berusaha mereka-reka, menebak-nebak, apakah sesungguhnya yang telah hilang?. Satu waktu, kita menyangka, oh ternyata inilah yang selama ini hilang dan membuat aku merasa tidak lengkap. Tapi ternyata, kita masih merasa kehilangan. Hidup pun berjalan kembali. Seolah-seolah menemukan sebuah jawaban, kita kembali berpikir,"Ah mungkin inilah yang membuat aku merasa kehilangan selama ini". Tapi ternyata kembali kita keliru dalam mengambil kesimpulan. Kebimbanganpun melanda hati kita. Kita berada dalam suatu persimpangan diantara berbagai alternatif jawaban atas kehilangan yang kita alami. Kita begitu bimbang sehingga kita berhenti melangkah, tidak mengambil langkah apapun dari berbagai alternatif jawaban itu, karena kita bingung manakah yang benar dari berbagai alternatif jawaban itu. Kita mengalami stuck,jalan buntu.


Tapi itu tidak berlangsung lama. Alam sadar segera mengingatkan kita. Bahwa yang Kuasa tidak ingin kita berhenti, putus asa, dalam menghadapi persoalan hidup. Dia tidak menginginkan kita berhenti melangkah mencari jawaban atas kegelisahan yang melanda hati. Kita harus tetap berjalan mencari jawaban yang ssungguhnya. Yakinlah,selama apapun waktu yang kita perlukan, sekeras apapun usaha yang kita lakukan,sesulit apapun jalan yang kita lalui, itu semua tidak akan sia-sia. Jawaban itu pasti akan datang pada waktunya. Dia sedang menunggu kita untuk datang menemuinya. Dan ketika kita menemukan jawabannya, dia akan menunjukkan pada kita tentang manisnya buah dari sebuah perjuangan untuk mencarai jawaban.



Diinterpretasikan dari lagu Letto "Lubang Di Hati."
Oleh Dee@n.

Wednesday, February 25, 2009

Untuk Palestina

TRAGEDI PADA SUATU NEGERI

Nafsumu,
adalah iblis-iblis kejam
yang membunuh kebahagiaan masa kecil kami
Hasratmu,
adalah setan-setan licik
yang merampas ketentraman kami
Dan segala keburukan perangaimu
menghancur leburkan rumah dan tanah kami

Aku lari, menangis dan takut
Sembunyi di balik ketiak ibuku
Aku takut mendengar gemelegar bom mu
Ibuku berlari terpontang-panting
Aku semakin takut
Tangisku semakin keras

Kerahkanlah tank-tank mu!
Muntahkan berjuta-juta pelurumu!
Lontarkan bom mu!

Hancurkan rumahku!
Ledakkan sekolah-sekolah kami!
Luluh lantakkan masjid-masjid kami!
Bahkan, bunuhlah semua keluarga kami!
Serta pedihkan pandangan kami akan perdamaian.

Tapi,
Semua penderitaan yang kau selimutkan ke tubuhku
Takkan mampu memadamkan semangatku
Aku akan tetap di sini
Dan kau memandangku masih berdiri di sini
Biar langit menyaksikan aku bercerita kepada dunia
Bahwa aku tersiksa di tengah-tengah kaum yang teraniaya

Ku berteriak sampai aus suaraku
Tangisku pun sudah tidak berair mata
Namun, sayang sekali
Bumi sudah berpura-pura tidak bertelinga
Dan langit pun masih diam menghitung waktu

Sungguh amat kejam ideologi-ideologi itu
Teramat biadab isme-isme itu
Dan perang-perang itu
Sama sekali tidak berperasaan.

Sunday, January 11, 2009

FREE HUGS IN SEOUL

Hari Minggu yang melelahkan. Tapi meskipun melelahkan, entah kenapa aku nggak bisa tidur. Akhirnya ku ajak mataku untuk nonton tv saja. ARCHIPELAGO, itulah acara yang ditayangkan Metro TV siang itu.kali ini kawasan yang dikunjungi untuk di explorasi adalah Seoul, Korea Selatan.


Seoul, sebuah kota yang modern, makmur, maju, bersih dan canggih. Jalan-jalan bersih, lalu lintas rapi, pejalan kaki melintas dengan aman dan nyaman di trotoar, gedung-gedung tertata dengan tatanan rapi mengesankan modernitas. Nyata perbedaannya dengan saudara jauhnya Pyong Yang. Cerminan dari tingginya peradaban masyarakatnya yang telah dibangun dengan terencana, teratur dan susah payah. Tipe sebuah kota impian, yang agaknya sulit diwujudkan di Indonesia. Bukannya pesimistis, tapi lebih kepada realistis.


Namun, sepeti apa yang dikatakan host acara ini, begitu modernnya kota ini, sehingga begitu sulit untuk mencari sisi-sisi tradisional, yang menunjukkan nilai kultural asli penduduknya. Satu-satunya masih bisa dikategorikan tradisional adalah sebuah kawasan yang disebut Insandong Market. Sesungguhnya kawasan ini tak ubahnya pasar-pasar tradisional yang ada di kota-kota di Indonesia. Yang membuatnya tampak istimewa hanyalah karena kawasan ini berada di tengah-tengah kota yang segala halnya serba modern. Ia adalah seumpama setitik masa lampau yang terbawa ke masa depan. Tapi meskipun pada dasarnya pasar tradisonal, pasar ini amat bersih dan teratur. Tidak seperti pasar-pasar tradisional di Indonesia yang identik dengan kotor, becek, bau dan lalat-lalat hijau besar dengan mata yang menakutkan itu.


Selain makanan-makanan tradisinalnya, ada satu lagi daya tarik dari pasar ini, yang lagi-lagi, mustahil untuk eksis di pasar-pasar tradisional Indonesia. Di situ ada seorang gadis cantik, yang berdiri menebar senyum manisnya kepadasemua pengunjung sambil menjunjung di atas kepalanya sebuah karton besar. Ia seperti gadis ring tinju. Namun, seperti kebanyakan penduduk kota ini yangwira-wiri, hilir mudik, sibuk memenuhi jalanan kota, gadis ini pun tampak terpelajar nan intelektual. Kacamata dan sorot sejuk matanya menegaskan akan hal itu. Rambutnya lurus panjang dan sebagian poninya menutupi dahi. Ia memakai sweater berwarna kalem, dipadukan dengan rok panjang yang tebal berlapis-lapis agak bergelombang dan ada hiasan bunga-bunga kecil. Sepatu imutnya pun, menyatu lembut dengan sweater dan roknya. Ah, gadis ini sungguh cantik dan feminin.


Oh ya, di karton besar yang dijunjung gadis itu, terdapat sebuah tulisan besar yang berbunyi : FREE HUGS. Can you believe it, free hugs man?!. “What is she doing?”, itulah kalimat yang terlontar dari mulut sang host terheran-heran melihat kelakuan gadis cantik yang ada di hadapannya.


Beberapa gadis dan ibu-ibu nampak tak ragu memberi atau lebih tepatnya diberi pelukan gratis oleh gadis ini. Seorang pria bule dewasa pun ikut merasakan kehangatan pelukan sang gadis. Bahkan ia meminta pengunjung lain untuk mengabadikan momen langka dalam hidupnya itu. Dipeluk seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, di negeri orang timur. Mudah-mudahan istrinya tidak mengetahuinya, atau mudah-mudahan ia belum mempunyai istri atau pacar.


Rupanya, sang host kita ini pun ikut tergoda. Ia pun menghamburkan dirinyake dalam dekapan gadis itu. Kedua gadis itu pun tersenyum penuh keakraban. Keduanya seperti dua sahabat lama yang sudah puluhan tahun tidak ketemu yang ketemu terakhir kalinya waktu perpisahan di SD dulu.


Aku tidak habis pikir, apa motivasi si gadis melakukan hal itu. Apakah ia sekedar cari sensasi?. Apakah ia seorang anak yatim piatu yang sejak lahir tidak pernah merasakan kehangatan pelukan dari orang tua, saudara bahkan teman-temanya?. Ataukah ia seorang mahasiswa cerdas dari sebuah universitas terkenal yang peduli pada masalah sosial perkotaan, dimana ia ingin menunjukkan kepada masyarakat kota yang terkena dampak globalisasi dengan menghiasai diri sifat hedonis, materialistis, oportunis dan individualistis, tentang indahnya senyum sapa dan kehangatan kebersamaan?. Atau mungkin ia hanyalah semacam duta wisata yang bekerja pada pemerintah kota untuk menarik wisatawan asing?. Aku tak tahu, bahkan host acara ini pun tak tahu.


Once again, free hugs man. Can you believe it?!. Yang aku bayangkan adalah, bagaimana jika hal itu terjadi di Indonesia. Seorang gadis cantik, berdiri di tengah-tengah pasar, menawarkan pelukan gratis kepada siapa saja yang mau. Wow, aku yakin yang terjadi adalah cowok-cowok pada berebut ingin mendapat pelukan dari gadis itu. Akibatnya, grafik jumlah pasangan yang putus cinta tiba-tiba meningkat drastis. Rubrik-rubrik cinta di majalah remaja, acara-acara curhat di radio-radio, semakin sibuk melayani pembaca dan pendengarnya. Bahkan Dewa Amor pun ikutan cemberut gara-gara gadis itu.


Tiap hari terjadi antrian hebat, cowok-cowok SMA, mahasiswa iseng, tukang becak, pedagang asongan, pengamen, bahakan preman-preman, ikutan ngantri untuk memeluk gadis itu. Pengunjung pun tidak datang dari dalam kota saja, tapi juga dari seluruh kota di Indonesia. Karena begitu banyaknya pengunjung, oleh pemerintah kota area parkir diperluas. Ongkos parkir naik dua kali lipat. Gadis itu yang bekerja, tapi tukang parkir yang berjaya.


Dari hari ke hari, pengunjung semakin membludak. Gadis itu pu harus bekerja ekstra keras. Kelakuan pengunjung pun aneh-aneh. Ada yang sekali meluk gak mau lepas-lepas sehingga merepotkan satpam pasar. Ada yang minta dipeluk berkali-kali. Ada yang meluknya cuma sebentar, tapi tiap hari selalu datang untuk ngantri lagi. Pendeknya, gadis itu semakin terkenal. Ia jadi headline di tv-tv dan koran-koran lokal maupun nasional. Artis-artis jadi cemburu dengan polularitasnya.


Dalam waktu singkat, gadis itu pun masuk MURI sebagai gadis dengan jumlah pelukan terbanyak di Indonesia bahkan dunia. Karena popularitasnya yang semakin menjadi-jadi, ia pun menjadi bintang sinetron yang berjudul “PELUKAN HANGAT SANG GADIS”, dengan soundtracknya sebuah lagu yang berjudul “DARA MANISKU”. Sang gadis tidak lagi beraksi di tengah-tengah pasar, tetapi di depan kamera, dan pasar pun kembali sepi seperti biasa.